Eksistensi
apoteker Indonesia belakangan marak dibicarakan di kalangan sejawat apoteker.
Pada media sosial seperti facebook, acap dibaca keluhan, umpatan, dan pendapat
para sejawat tentang praktek profesi apoteker di tanah air. Banyak sejawat yang
merasa profesinya kurang dihargai. Apa buktinya? “Lihat saja gaji apoteker di
apotek, masa lebih kecil dari UMR”, tulis seorang sejawat. Ada pula komentar
yang mengaitkan tidak terteranya kalimat mengenai peran apoteker dalam
peraturan pemerintah yang berkaitan dengan implementasi BPJS Kesehatan.
Jika
disimak sejarahnya, tercabutnya sebagian peran apoteker dari apotek komunitas
terjadi sejak diterbitkannya PP no. 26 tahun 1965 Tentang Apotik oleh presiden
Sukarno. Menurut Peraturan Pemerintah tersebut, izin apotek hanya diberikan
kepada lembaga pemerintah tertentu, perusahaan negara, perusahaan swasta dan
koperasi. Peraturan pemerintah itu menghapuskan hak apoteker sebagai pemegang
izin (sebelumnya, dari zaman penjajahan Belanda hingga 1965 hanya dikenal
apotek yang didirikan apoteker). Pada saat PP tersebut diumumkan, tidak ada
protes dari apoteker, karena saat itu nuansa politik dan jargon Ekonomi
Terpimpin tengah menggiring pendapat umum yang “mengharamkan” suatu usaha yang
menonjolkan kepentingan perorangan dalam masyarakat. Faktor lain, Ketua ISFI
saat itu, adalah Purnomo Singgih, yang merupakan anggota HSI, Himpunan Sarjana
Indonesia (onderbouw PKI), pendukung berat presiden Sukarno.
Usul
untuk merubah PP 26 tahun 1965 tersebut baru dicetuskan para apoteker pada saat
berlangsung Kongres ISFI di era awal orde baru tahun 1967. Namun model apotek
yang izinnya atas nama lembaga/ perusahaan (apoteker hanya sebagai penanggung
jawab) terlanjur menjamur mengingat tingginya tingkat keuntungan usaha apotek
saat itu. Kendali apotek-appotek komunitas telah terlalu banyak bergeser ke
tangan pengusaha. Di samping itu, pertumbuhan apotek yang tinggi tidak diikuti
jumlah tenaga apoteker yang memadai. Untuk mengatasinya, banyak apotek
didirikan dengan menggunakan tenaga apoteker pegawai negeri dan ABRI. Karena
bukan pekerjaan utama, tingkat kehadiran apoteker-apoteker tersebut di apotek
tidak bisa penuh waktu, sementara pengusaha tidak memusingkan kehadiran
apoteker karena pekerjaan di apotek dapat diambil alih oleh tenaga non
apoteker. Apoteker yang hanya datang beberapa jam seminggu ke apotek mulai
bermunculan. Malah kalangan apoteker sendiri ada yang bangga karena menerima
gaji yang lumayan besar dari apotek walau datang hanya beberapa kali dalam
sebulan.
Namun banyak juga apoteker yang kecewa karena kewenangan mereka di apotek sudah dicaplok oleh pemodal. Upaya untuk mengembalikan kewenangan apoteker secara penuh mulai diusahakan oleh pengurus Ikatan sarjana farmasi Indonesia di bawah pimpinan Sukarjo.
Namun banyak juga apoteker yang kecewa karena kewenangan mereka di apotek sudah dicaplok oleh pemodal. Upaya untuk mengembalikan kewenangan apoteker secara penuh mulai diusahakan oleh pengurus Ikatan sarjana farmasi Indonesia di bawah pimpinan Sukarjo.
Upaya
untuk mereposisi peran apoteker mendapat momentum dengan dikeluarkannya PP 51
tahun 1980 yang pada dasarnya ingin mengembalikan apotek sebagai tempat
pengabdian profesi apoteker. Tentu saja apoteker Indonesia sangat senang dengan
peraturan pemerintah tersebut karena izin apotek menurut PP tersebut diberikan
kepada apoteker. Namun tentangan terhadap PP 25 oleh para pengusaha apotek saat
itu sangat luar biasa. Beberapa bulan setelah PP 51 keluar ramai polemik
mengenai pro dan kontra PP tersebut di koran-koran ibukota. Akhirnya terjadi
“pelemahan” PP 25, dimana izin apotek selain kepada apoteker juga dapat
diberikan kepada apoteker yang bekerja-sama dengan penyedia sarana apotek.
Memang,
pada saat-saat awal penerapan PP 25 tahun 1981, terjadi “dampak positif”:
peningkatan honor untuk sebagian apoteker komunitas. Sayangnya hal ini tak
diikuti kesadaran keterlibatan apoteker di apotek dalam memberikan pelayanan.
Sebagian apoteker di apotek komunitas swasta tetap jarang datang ke apotek.
Mereka masih jarang datang ke apotek. Sangat disayangkan, momentum terwujudnya
praktek apoteker sesuai fungsi dan perannya dengan bantuan PP 51 gagal
dimanfaatkan apoteker Indonesia.
Tahun
demi tahun berlalu, peran apoteker di apotek komunitas semakin berkurang,
beriringan dengan merosotnya gaji apoteker penanggung jawab. Pikiran-pikiran
untuk mereposisi peran dan fungsi apoteker merebak kembali. Di tahun 2008 ISFI
yang saat itu dipimpin Haryanto Dhanutirto mencanangkan program TATAP (Tiada
Apoteker Tiada Pelayanan). Suara-suara untuk merevitalisasi apoteker Indonesia
mulai disemai kembali.
Di penghujung 2009, muncullah PP 51 tentang pekerjaan Kefarmasian yang pada hakekatnya bertujuan mengembalikan fungsi pelayanan farmasi , yang disusul Permenkes 889 tahun 2011. Dengan PP tersebut tidak dimungkinkan lagi pekerjaan kefarmasian dilakukan oleh fihak-fihak non farmasi yang tidak kompeten . Maklumlah, pada PP No. 51 tersebut terdapat kalimat pamungkas: ” Pekerjaan Kefarmasian harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu”, di samping kalimat fasal 21 ayat 2 yang berbunyi: ” Penyerahan obat berdasarkan resep dokter dilaksanakan oleh apoteker”. Dengan demikian apabila PP ini mulai efektif diberlakukan, “terlarang ” bagi apotek yang apotekernya tidak ada di tempat melayani resep dokter. Dengan kata lain, selama apotek buka atau beroperasi, apoteker harus ada di tempat. Untuk mengatasi kondisi apabila apoteker berhalangan, apoteker pemilik/ pengelola apotek dapat mempekerjakan apoteker pengganti yang jumlahnya disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing apotek.
Di penghujung 2009, muncullah PP 51 tentang pekerjaan Kefarmasian yang pada hakekatnya bertujuan mengembalikan fungsi pelayanan farmasi , yang disusul Permenkes 889 tahun 2011. Dengan PP tersebut tidak dimungkinkan lagi pekerjaan kefarmasian dilakukan oleh fihak-fihak non farmasi yang tidak kompeten . Maklumlah, pada PP No. 51 tersebut terdapat kalimat pamungkas: ” Pekerjaan Kefarmasian harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu”, di samping kalimat fasal 21 ayat 2 yang berbunyi: ” Penyerahan obat berdasarkan resep dokter dilaksanakan oleh apoteker”. Dengan demikian apabila PP ini mulai efektif diberlakukan, “terlarang ” bagi apotek yang apotekernya tidak ada di tempat melayani resep dokter. Dengan kata lain, selama apotek buka atau beroperasi, apoteker harus ada di tempat. Untuk mengatasi kondisi apabila apoteker berhalangan, apoteker pemilik/ pengelola apotek dapat mempekerjakan apoteker pengganti yang jumlahnya disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing apotek.
PP 51 dan
Permenkes 889 yang terbit sesungguhnya merupakan tool berharga bagi apoteker
Indonesia untuk mereposisi peran dan fungsinya agar setara dengan profesi
apoteker di negara maju. Penataan kembali dunia apoteker Indonesia telah
dilakukan dengan registrasi kembali lewat STRA yang disusul SIPA/ SIKA.
Momentum ini juga dimanfaatkan oleh Ikatan Apoteker Indonesia untuk menata
organisasi lewat konsolidasi yang lebih intensif dengan pengurus cabang dan
anggota. Para apoteker yang setelah sudah mati gaya dalam menambah ilmu,
dipaksa untuk belajar kembali lewat SKPA, dan sarana pendidikan berkelanjutan
lainnya.
Perilaku
hemat waktu (jarang ke apotek) yang dianut sebagian apoteker komunitas di
Indonesia bukanlah hal yang perlu ditiru. Sayangnya, datang ke apotek 1 jam
sehari atau seminggu sekali atau sebulan sekali adalah praktek yang masih
banyak diterapkan apoteker Indonesia.
Menurut
pengamatan MEDISINA, walau sudah ada banyak kemajuan dalam keberadaan apoteker
di apotek di beberapa daerah, namun di daerah lain masih gampang dijumpai
apotek yang beroperasi tanpa apoteker. Selama budaya apoteker hemat waktu masih
tinggi prosentasenya, peran dan fungsi apoteker yang ideal sulit diwujudkan.
Sayangnya, apoteker hemat waktu itu juga terjadi pada apotek yang dimiliki
apoteker.
Karena
memiliki kesibukan lain, apotek tersebut kerap operasi tanpa diawasi
apoteker.Selain soal kehadiran apoteker di apotek, masih banyak faktor lain
yang harus dikoreksi dan diperbaiki. Kualitas apoteker, kesejahteraan apoteker
dan perubahan paradigma dalam melayani adalah hal-hal yang mesti diatasi.
Sampurno,
mantan Kepala Badan POM , sering melontarkan kritik pedas lewat media sosial
tentang masalah ini. Dalam rapat pleno pengurus PP IAI April lalu ia sempat
menyampaikan konsep solusinya untuk perbaikan wajah apoteker Indonesia, yang
kami muat sebagai pelengkap laporan utama.
Pelbagai
upaya masif agaknya perlu dilakukan organisasi dan regulator terkait agar upaya
mengembalikan peran dan fungsi apoteker di Indonesia dapat wujud secara
paripurna. Beberapa upaya yang telah dilakukan untuk melabuhkan profesi
apoteker sehingga tak kalah dihargai seperti apoteker di negara maju perlu
diapresiasi.
Kurangnya apotek teladan
Kurangnya
pengawasan terhadap jalannya regulasi kefarmasian, dan hampir tiadanya teladan,
membuat pelayanan apotek komunitas di tanah air berjalan seperti halnya retail
biasa. Masyarakat mengenal apotek sebagai tempat membeli obat, bukan tempat yang
juga memberi manfaat lebih bagi percepatan perbaikan kesehatannya. Citra apotek
sebagai tempat praktek apoteker belum sekuat citra klinik sebagai tempat
praktek dokter.
Untunglah, di era serba kekurangan keteladanan ini berkembanglah suatu model apotek yang diharapkan bisa mempercepat ketinggalan apotek komunitas di Indonesia dari apotek komunitas dari negara lain.
Untunglah, di era serba kekurangan keteladanan ini berkembanglah suatu model apotek yang diharapkan bisa mempercepat ketinggalan apotek komunitas di Indonesia dari apotek komunitas dari negara lain.
Di Jawa
Tengah, Yogya dan jawa Timur, kini berkembang suatu apotek jaringan yang
mengedepankan pelayanan kefarmasian dengan konsep yang lebih jelas.
Apotek-apotek yang luasnya relatif kecil senantiasa dilayani oleh 2 apoteker,
Apoteker melaksanakan praktik kefarmasian dengan SOP yang jelas, berkomunikasi
langsung dengan pasien, Mereka membuat catatan obat pasien, mewawancarai dan
menasehati pasien, memberikan pesan-pesan untuk perbaikan kesehatan. Dan
berusaha memilihkan obat sesuai kantong pasien. Apotek jaringan tersebut
berusaha mendahulukan pemberian obat generik, sesuai dengan nama apotek
jaringan tersebut: apotek Viva Generik.
Di lingkungan sekitar apotek beroperasi, apoteker secara sistematis memberikan kegiatan untuk menambah kualitas kesehatan komunitas cakupannya. Misalnya memberikan ceramah kesehatan di lingkungan RT/ RW, dan mengorganisasi senam bersama.
Di lingkungan sekitar apotek beroperasi, apoteker secara sistematis memberikan kegiatan untuk menambah kualitas kesehatan komunitas cakupannya. Misalnya memberikan ceramah kesehatan di lingkungan RT/ RW, dan mengorganisasi senam bersama.
Apoteker
Viva Generik ditekankan untuk menambah pengetahuan kefarmasian yang senantiasa
berkembang lewat kursus yang diadakan Ikatan Apoteker Indonesia dan inhouse
training yang diadakan perusahaan. Hampir semua apoteker dari apotek Viva
Generik yang sekarang berjumlah 133 buah telah mengikuti PCCP (Pharmaceutical
Care Certification Program), program sertifikasi yang ditujukan untuk
memberikan bekal kepada praktisi apoteker dalam bentuk pengetahuan, pemahaman,
keterampilan, dan pengalaman praktis yang diperlukan untuk menyediakan layanan
kefarmasian di apotek. Dalam waktu dekat mereka akan di training oleh trainer
apotek komunitas dari Amerika Serikat (AK)