Kamis, 12 Maret 2015

Reposisi dan Reaktualisasi Apoteker Indonesia

           Eksistensi apoteker Indonesia belakangan marak dibicarakan di kalangan sejawat apoteker. Pada media sosial seperti facebook, acap dibaca keluhan, umpatan, dan pendapat para sejawat tentang praktek profesi apoteker di tanah air. Banyak sejawat yang merasa profesinya kurang dihargai. Apa buktinya? “Lihat saja gaji apoteker di apotek, masa lebih kecil dari UMR”, tulis seorang sejawat. Ada pula komentar yang mengaitkan tidak terteranya kalimat mengenai peran apoteker dalam peraturan pemerintah yang berkaitan dengan implementasi BPJS Kesehatan.
Jika disimak sejarahnya, tercabutnya sebagian peran apoteker dari apotek komunitas terjadi sejak diterbitkannya PP no. 26 tahun 1965 Tentang Apotik oleh presiden Sukarno. Menurut Peraturan Pemerintah tersebut, izin apotek hanya diberikan kepada lembaga pemerintah tertentu, perusahaan negara, perusahaan swasta dan koperasi. Peraturan pemerintah itu menghapuskan hak apoteker sebagai pemegang izin (sebelumnya, dari zaman penjajahan Belanda hingga 1965 hanya dikenal apotek yang didirikan apoteker). Pada saat PP tersebut diumumkan, tidak ada protes dari apoteker, karena saat itu nuansa politik dan jargon Ekonomi Terpimpin tengah menggiring pendapat umum yang “mengharamkan” suatu usaha yang menonjolkan kepentingan perorangan dalam masyarakat. Faktor lain, Ketua ISFI saat itu, adalah Purnomo Singgih, yang merupakan anggota HSI, Himpunan Sarjana Indonesia (onderbouw PKI), pendukung berat presiden Sukarno.
Usul untuk merubah PP 26 tahun 1965 tersebut baru dicetuskan para apoteker pada saat berlangsung Kongres ISFI di era awal orde baru tahun 1967. Namun model apotek yang izinnya atas nama lembaga/ perusahaan (apoteker hanya sebagai penanggung jawab) terlanjur menjamur mengingat tingginya tingkat keuntungan usaha apotek saat itu. Kendali apotek-appotek komunitas telah terlalu banyak bergeser ke tangan pengusaha. Di samping itu, pertumbuhan apotek yang tinggi tidak diikuti jumlah tenaga apoteker yang memadai. Untuk mengatasinya, banyak apotek didirikan dengan menggunakan tenaga apoteker pegawai negeri dan ABRI. Karena bukan pekerjaan utama, tingkat kehadiran apoteker-apoteker tersebut di apotek tidak bisa penuh waktu, sementara pengusaha tidak memusingkan kehadiran apoteker karena pekerjaan di apotek dapat diambil alih oleh tenaga non apoteker. Apoteker yang hanya datang beberapa jam seminggu ke apotek mulai bermunculan. Malah kalangan apoteker sendiri ada yang bangga karena menerima gaji yang lumayan besar dari apotek walau datang hanya beberapa kali dalam sebulan.
Namun banyak juga apoteker yang kecewa karena kewenangan mereka di apotek sudah dicaplok oleh pemodal. Upaya untuk mengembalikan kewenangan apoteker secara penuh mulai diusahakan oleh pengurus Ikatan sarjana farmasi Indonesia di bawah pimpinan Sukarjo.
Upaya untuk mereposisi peran apoteker mendapat momentum dengan dikeluarkannya PP 51 tahun 1980 yang pada dasarnya ingin mengembalikan apotek sebagai tempat pengabdian profesi apoteker. Tentu saja apoteker Indonesia sangat senang dengan peraturan pemerintah tersebut karena izin apotek menurut PP tersebut diberikan kepada apoteker. Namun tentangan terhadap PP 25 oleh para pengusaha apotek saat itu sangat luar biasa. Beberapa bulan setelah PP 51 keluar ramai polemik mengenai pro dan kontra PP tersebut di koran-koran ibukota. Akhirnya terjadi “pelemahan” PP 25, dimana izin apotek selain kepada apoteker juga dapat diberikan kepada apoteker yang bekerja-sama dengan penyedia sarana apotek.
Memang, pada saat-saat awal penerapan PP 25 tahun 1981, terjadi “dampak positif”: peningkatan honor untuk sebagian apoteker komunitas. Sayangnya hal ini tak diikuti kesadaran keterlibatan apoteker di apotek dalam memberikan pelayanan. Sebagian apoteker di apotek komunitas swasta tetap jarang datang ke apotek. Mereka masih jarang datang ke apotek. Sangat disayangkan, momentum terwujudnya praktek apoteker sesuai fungsi dan perannya dengan bantuan PP 51 gagal dimanfaatkan apoteker Indonesia.
Tahun demi tahun berlalu, peran apoteker di apotek komunitas semakin berkurang, beriringan dengan merosotnya gaji apoteker penanggung jawab. Pikiran-pikiran untuk mereposisi peran dan fungsi apoteker merebak kembali. Di tahun 2008 ISFI yang saat itu dipimpin Haryanto Dhanutirto mencanangkan program TATAP (Tiada Apoteker Tiada Pelayanan). Suara-suara untuk merevitalisasi apoteker Indonesia mulai disemai kembali.
Di penghujung 2009, muncullah PP 51 tentang pekerjaan Kefarmasian yang pada hakekatnya bertujuan mengembalikan fungsi pelayanan farmasi , yang disusul Permenkes 889 tahun 2011. Dengan PP tersebut tidak dimungkinkan lagi pekerjaan kefarmasian dilakukan oleh fihak-fihak non farmasi yang tidak kompeten . Maklumlah, pada PP No. 51 tersebut terdapat kalimat pamungkas: ” Pekerjaan Kefarmasian harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu”, di samping kalimat fasal 21 ayat 2 yang berbunyi: ” Penyerahan obat berdasarkan resep dokter dilaksanakan oleh apoteker”. Dengan demikian apabila PP ini mulai efektif diberlakukan, “terlarang ” bagi apotek yang apotekernya tidak ada di tempat melayani resep dokter. Dengan kata lain, selama apotek buka atau beroperasi, apoteker harus ada di tempat. Untuk mengatasi kondisi apabila apoteker berhalangan, apoteker pemilik/ pengelola apotek dapat mempekerjakan apoteker pengganti yang jumlahnya disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing apotek.
PP 51 dan Permenkes 889 yang terbit sesungguhnya merupakan tool berharga bagi apoteker Indonesia untuk mereposisi peran dan fungsinya agar setara dengan profesi apoteker di negara maju. Penataan kembali dunia apoteker Indonesia telah dilakukan dengan registrasi kembali lewat STRA yang disusul SIPA/ SIKA. Momentum ini juga dimanfaatkan oleh Ikatan Apoteker Indonesia untuk menata organisasi lewat konsolidasi yang lebih intensif dengan pengurus cabang dan anggota. Para apoteker yang setelah sudah mati gaya dalam menambah ilmu, dipaksa untuk belajar kembali lewat SKPA, dan sarana pendidikan berkelanjutan lainnya.
Perilaku hemat waktu (jarang ke apotek) yang dianut sebagian apoteker komunitas di Indonesia bukanlah hal yang perlu ditiru. Sayangnya, datang ke apotek 1 jam sehari atau seminggu sekali atau sebulan sekali adalah praktek yang masih banyak diterapkan apoteker Indonesia.
Menurut pengamatan MEDISINA, walau sudah ada banyak kemajuan dalam keberadaan apoteker di apotek di beberapa daerah, namun di daerah lain masih gampang dijumpai apotek yang beroperasi tanpa apoteker. Selama budaya apoteker hemat waktu masih tinggi prosentasenya, peran dan fungsi apoteker yang ideal sulit diwujudkan. Sayangnya, apoteker hemat waktu itu juga terjadi pada apotek yang dimiliki apoteker.
Karena memiliki kesibukan lain, apotek tersebut kerap operasi tanpa diawasi apoteker.Selain soal kehadiran apoteker di apotek, masih banyak faktor lain yang harus dikoreksi dan diperbaiki. Kualitas apoteker, kesejahteraan apoteker dan perubahan paradigma dalam melayani adalah hal-hal yang mesti diatasi.
Sampurno, mantan Kepala Badan POM , sering melontarkan kritik pedas lewat media sosial tentang masalah ini. Dalam rapat pleno pengurus PP IAI April lalu ia sempat menyampaikan konsep solusinya untuk perbaikan wajah apoteker Indonesia, yang kami muat sebagai pelengkap laporan utama.
Pelbagai upaya masif agaknya perlu dilakukan organisasi dan regulator terkait agar upaya mengembalikan peran dan fungsi apoteker di Indonesia dapat wujud secara paripurna. Beberapa upaya yang telah dilakukan untuk melabuhkan profesi apoteker sehingga tak kalah dihargai seperti apoteker di negara maju perlu diapresiasi.

Kurangnya apotek teladan
Kurangnya pengawasan terhadap jalannya regulasi kefarmasian, dan hampir tiadanya teladan, membuat pelayanan apotek komunitas di tanah air berjalan seperti halnya retail biasa. Masyarakat mengenal apotek sebagai tempat membeli obat, bukan tempat yang juga memberi manfaat lebih bagi percepatan perbaikan kesehatannya. Citra apotek sebagai tempat praktek apoteker belum sekuat citra klinik sebagai tempat praktek dokter.
Untunglah, di era serba kekurangan keteladanan ini berkembanglah suatu model apotek yang diharapkan bisa mempercepat ketinggalan apotek komunitas di Indonesia dari apotek komunitas dari negara lain.
Di Jawa Tengah, Yogya dan jawa Timur, kini berkembang suatu apotek jaringan yang mengedepankan pelayanan kefarmasian dengan konsep yang lebih jelas. Apotek-apotek yang luasnya relatif kecil senantiasa dilayani oleh 2 apoteker, Apoteker melaksanakan praktik kefarmasian dengan SOP yang jelas, berkomunikasi langsung dengan pasien, Mereka membuat catatan obat pasien, mewawancarai dan menasehati pasien, memberikan pesan-pesan untuk perbaikan kesehatan. Dan berusaha memilihkan obat sesuai kantong pasien. Apotek jaringan tersebut berusaha mendahulukan pemberian obat generik, sesuai dengan nama apotek jaringan tersebut: apotek Viva Generik.
Di lingkungan sekitar apotek beroperasi, apoteker secara sistematis memberikan kegiatan untuk menambah kualitas kesehatan komunitas cakupannya. Misalnya memberikan ceramah kesehatan di lingkungan RT/ RW, dan mengorganisasi senam bersama.
Apoteker Viva Generik ditekankan untuk menambah pengetahuan kefarmasian yang senantiasa berkembang lewat kursus yang diadakan Ikatan Apoteker Indonesia dan inhouse training yang diadakan perusahaan. Hampir semua apoteker dari apotek Viva Generik yang sekarang berjumlah 133 buah telah mengikuti PCCP (Pharmaceutical Care Certification Program), program sertifikasi yang ditujukan untuk memberikan bekal kepada praktisi apoteker dalam bentuk pengetahuan, pemahaman, keterampilan, dan pengalaman praktis yang diperlukan untuk menyediakan layanan kefarmasian di apotek. Dalam waktu dekat mereka akan di training oleh trainer apotek komunitas dari Amerika Serikat (AK)


Kamis, 05 Maret 2015

Orang Miskin Dilarang Sakit Hasil Diskusi GB 6 Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin

Kenapa org miskin dilarang sakit?? Org miskin juga manusia. Seandainya orang miskin dilarang sakit, trus apa gunanya semua program kesehatan yang dicanangkan pemerintah? Wacana "orang miskin dilarang sakit" itu muncul karena melihat realita di masyarakat dimana biaya kesehatan masih terbilang mahal untuk mereka yg masuk kategori miskin.Wacananya terdengar kurang manusiawi. Realita yg miris. Ada artikel yang berpendapat " Direktur Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan Ida Bagus Indra Gotama mengakui bahwa derajat kesehatan Indonesia sangat rendah apabila dbandingkan dengan negara di Asia, apalagi bagi orang miskin. Pada masyarakat miskin angka kematian ibu lebih tinggi hingga 7 kali lipat. Salah satu penyebabnya adalah akses pelayanan kesehatan yang masih minim"

Program pemerintah seperti jamkesmas dan bpjs kelihatannya seperti tidak berpihak pada orang miskin. Seperti artikel yang dikutip dari www.Halobojonegoro.com. menyebutkan bahwa orang miskin yang tidak mempunyai bpjs kesehatan pun ditolak d rumah sakit negeri. Dapat saya simpulkan bahwa program pemerintah ini masih kurang merata dampaknya terhadap orang-orang yang berpenghasilan menengah ke bawah. Masih banyak cacat dari program pemerintah tersebut. Tapi, sejauh ini saya belum pernah mendengar bahwa akan ada perbaikan dari program tersebut. Negara punya tanggung jawab melindungi, apalagi ada skema kesehatan yang sedang gencar-gencarnya untuk memberikan jaminan kesehatan pada masyarakat.Org miskin d larang sakit krn kan biaya yang di butuhkan untuk berobat sangat besar, Seakan di rumah sakit mendukung itu juga wacana orang miskin dilarang sakit.. karena berbeda pelayanannya orang miskin sama orang kaya.Bisa dubilang bahwa semakin besar budget yang kita punya, maka semakin baik pula pelayanannya.



Dimana letak kesalahannya? Program pemerintah yang berjalan tidak sesuai atau pusat pelayanan kesehatan yang tidak profesional? Salah satu program pemerintah seperti bpjs itu prinsip pelaksanaanya gotong royong, yg kaya membantu yg miskin, yg sehat membantu yg sakit. Jadi pembayaran bpjs tiap bulan digunakan untuk membiayai mereka yg sakit. Sebenarnya program pemerintah ini sudah baik. Jadi tidak bisa hanya pemerintah yang disalahkan. 


Salah satu yg menjadi permasalahn disini adalah bagaimana kah yg dimaksud dengan "miskin" itu sendiri. Dri pernyataan itu bisakan mncul bbrapa mksud (ambigu), pernyataan itu bisa di artikan sebagai gambaran betapa mahalnya kesehatan di indonesia. jadi org miskin yg tdk bisa menjangkaunya tdk boleh sakit dan itu itu sbnrnya sindiran halus mengenai biaya kesehatan di indo yg terlalu mahal untuk org miskin. kata orang msikin dilarang sakit lahir dari pernyataan. uang tidak bisa membeli segalanya, tpi faktanya bahwa uang bisa membuat orang mendapatkan akses kesehatan yang lebih baik. Lalu apakah orang miskin yang mengalami kesulitan finansial tidak bisa mendapatkan akses kesehatan? maksudnya itu adalah sindiran untuk pihak2 yang terkait dengan dunia kesehatan diindonesia termasuk farmasis. untuk bisa membenahi masalah ini.


Tidak bisa dipungkiri bahwa sebagian org pasti akan menyalahkan pemerintah mengenai fenomena tersebut. Karena yang berhak membuat peraturan sekaligus menjalankan adalah mereka. untuk hal ini, tidak ada keadilan yang dirasakan rakyat miskin. Apalagi mengenai kesehatan, ndonesia memang kurang dalam hal ini. Orang miskin dilarang sakit, karna biaya untuk berobat mahal, kalau orang miskin sakit mereka pasti tidak bisa membayar biaya maka dari itu diadakan program pemerinta sprti bpjs, jamkesmas dll. tapi program pemerintah ini belum maksimal di terapkan di rumah sakit di indonesia. Dan betul sindiran ini wacana bahwa kesehatan di indonesia sangat mahal. Perlunya peningkatan mutu pelayanan kesehatan di Indonesia, sebab nyaris seluruh rumah sakit memberlakukan adanya uang jaminan untuk memasukkan pasien. Tidak ada uang, silakan pasien angkat kaki. Jika sudah begini, si miskin pun hanya bisa gigit jari. Dia hanya mampu menanti detik-detik kematian.


Namun, pemerintah tidak bisa disalahkan sepenuhnya untuk ini. Sebaik apapun program yang dijalankan pemerintah, tapi kalau petugasnya tidak melaksanakan dengan baik, maka sia-sialah semuanya. dan juga setiap tahunnya pemerintah menaikan dana APBD untuk kesehatan sekitar 1 M. apalgi pemerintahan jokowi yang sekarang lebih mengutamakan uang hasil pajak untuk kesehatan. karna salah satu prokernya membuat kartu indonesia sehat dan kartu indonesia pintar. jadi sepertinya bukan rancangan pemetrintah yang salah tapi kartunya yang salah sasaran dan harus diperbaiki manajemen dan pembagian kartu miskinnya. Pemerintah jelas sangat menyadari bahwa kembali lagi ke petugas2 di lapangan, oleh karena dengan sistem yg baru seperti bpjs ini, petugas harus betul2 diseleksi baik dari SQ maupun EQnya, bahkan yg telah lolos seleksi diberi pelatihan semacam pengaderan jadi lahirlah kader2 baru yg insya allah akan merubah sistem yg bobrok dahulu.


ini juga ada kaitannya dengan farmasis tentang kegagalan farmasis dalam mencitrakan dirinya. Kegagalan pencitraan farmasis adalah karena masih banyak yang belum mengetahuinya. Sama juga dengan kegagalan program pemerintah ini. jadi yang diperlukan untuk sekarang itu selain meningkatkan mutu pelayanan, juga sosialisasi dan pengenalan program ini sehingga masyarakat secara merata mengerti dan mengetahuinya.


Jika kita menengok negara lain dan mari ambil contoh dari negara lain "Swiss terkenal sebagai negara dengan akses layanan kesehatan yang sangat baik karena hampir semua warganya memiliki asuransi. Lain lagi dengan Perancis di mana dana dari pajak penghasilan digunakan sebagai jaminan kesehatan buat masyarakatnya. Beberapa negara maju seperti Inggris, Italia dan Jepang juga memiliki akses pelayanan kesehatan yang baik bagi warganya" berbanding terbalik dengan INDONESIA.



Lalu yang jadi masalah lagi memang orang miskin lebih sering sakit karena pendidikan dan upaya untuk menjaga kesehatannya kurang. yang mirisnya lagi bukan hanya biaya kesehatan saja yang mahal tapi biaaya pendidikan juga mahal. jadi masalah kesehatan dan pendidikan punya hubungan timbal balik. Akan sulit jika org miskin dilarang sakit karena kebutuhan finasial mereka kurang terpenuhi dan hal ini berbanding lurus dengan tingkat kesehatannya. Kesehatan memang masih menjadi barang mewah di negeri ini. Ada pepatah yang mengatakan, sehat itu mahal, tapi sakit itu lebih mahal. Menggetirkan, namun itulah faktanya



Jadi solusi untuk masalah ini yang paling tepat yaitu mengentaskan kemiskinan, kalo semua orang sudah mapan, siapa saja boleh sakit. tapi apa boleh buat bagi negara indonesia yang masih berkembang, banyak hutangnya, koruptor dimana2. sepertinya mengentaskan kemiskinan bukan solusi yang baik. jadi solusi yang lain yaitu pemerintah sudah berniat baik memberi program bantuan kesehatan, aplikasinya yang perlu dimaksimalkan. Salah satunya jika rakyat miskin sakit pemerintah menyiapkan rumah sakit yang khusus bagi rakyat miskin sehingga dalam pelayanannya tidak ada deskriminasi lagi, terus pemerintah harus menjamin distribusinya bagi para pelayanan kesehatan di dalamnya.


Jadi singkatnya masalah wacana orang msikin dilarang sakit, tergantung bagimana cara pandangan kita terhadap pernyataan itu. Pandangan baiknya: org miskin dilarang sakit, artinya pemerintah mencangkan indonesia sehat, yg miskin saja tidak boleh, apalgi yg kaya. pandagan buruknya: org miskin dilarang sakit karena akan menyusahkan, baik dri segi biaya maupun perawatannya. Terpikir tentang sudut pandang positifnya, jadi ini sbnrnya orang miskin dlrang sakit lebih tepat klau ditujukan menjadi penyemangat untuk pemerintah dan yg bergelut di bidang kesehatan termasuk kita untuk meningkatkan kesejahteraan di bidang kesehatan bagi yg miskin karna yg miskin tdak boleh sakit agar mereka bisa terus berjuang keluar dari jurang kemiskinan


Jadi apa tanggapan dan aksi kita terhadap wacana ini sebagai anak kesehatan? sepatutnya anak kesehatan membantu pemerintah dengan memberikan penyuluhan dan pemahaman penyakit sehingga jumlah masyarakat yang sakit menurun dan masih banyak lagi aksi lainnya yang dapat kita lakukan untuk mengatasi masalah ini. sebetulnya seluruh umat manusia ( keseluruhan masyarakat )bertanggung jawab untuk mengatasi masalah kesehatan dan kemiskinan. ini merupakan tugas dan panggilan ilahi kepada semua umat manusia. sekaligus mempunyai nilai luhur serta mulia yang mengesampingkan egoistik serta kepentingan diri sendiri.


(Azka asfarinda, Afdil Viqar viqhi, Musfira Dewy, Nur Syahra, Abel Romario, Michele, Khaldun Hidayat, Hajirah, Andi Dian Agustiah, Muslim, Herlina, Yulfira Amalika, Silvany rezy, Putri Mandasari)